Langsung ke konten utama

Musola Rumah Sakit



Tanpa mencari bagaimana cara menulis “musola” yang sesuai EYD.

Pada hakikatnya manusia itu berjuang, berjuang mendapatkan nilai yang baik secara akademis, berusaha mendapat perhatian dari lawan jenis yang disukainya, berusaha menghidupi anak-anaknya, berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik senyum atau bahkan sekadar berjuang membuang kotoran dalam perut di kamar mandi.

Saat ini gue sedang berjuang, lagi, iya setelah kenikmatan yang telah habis direguk seusai menyelesaikan studi, gue berjuang mencari kerja. Cukuplah dengan ucapan basi: Jadi wirausahawan aja, bisa jadi bos. Sama kaya soal makanan favorit, kita ngga bisa memaksakan makanan yang menurut kita enak ke semua orang, everybody has their own taste. Jadi pikirin aja diri lo sendiri ya. Tapi enterpreneurship adalah bidang yang menjadi pilihan kesekian gue, tapi juga pasti akan gue jalani nanti. Gue sedang berminat mendaki tangga di korporasi yang bernama “karir”.

Gue emang selektif, karena gue lebih memilih ngelamar sedikit tapi sesuai dengan kemampuan dan tentu saja minat gue, mungkin itu alesan gue masih di rumah. Atau mungkin aja gue belum beruntung.

Sama kaya mayoritas orang, di saat udah bersusah payah berikhtiar, gue cuma bisa doa. Sebuah tindakan yang menurut gue merupakan tanda kita sadar bahwa manusia itu punya batasan, jadi ya tinggal serahkan aja sama Yang Maha Memiliki Hidup.

Tanpa bermaksud pamer, gue emang jadi lebih rajin solat di masjid atau musola deket rumah. Suami-able banget yak?

You know, aktivitas setelah solat adalah berdoa. Dan yah, ya gue berdoa. Sedikit merasa malu ke Tuhan karena gue hanya muncul di rumah-Nya saat ada maunya, gue memanjatkan munajat-munajat yang udah khatam di luar kepala, lalu cabut dari situ. Yah dan begitu seterusnya, gitu-gitu aja. Serasa ada yang kurang, dan gue tau itu apa. Ke-khusyu-an.

Gue nggak khusyu berdoanya, apa adanya, seakan-akan aktivitas itu ngga sungguh-sungguh dan sekadar setor muka. Makanya gue selalu berpikir untuk tidak ikut campur apalagi sampai memaksakan orang lain untuk ibadah, itu kan urusan dia dan Tuhannya, masa dia beribadah hanya demi, siapa tadi yang suruh? Kita? Cukup mengingatkan, jangan dipaksa.

Gue teringat saat almarhum Aki gue masih ada.

Saat gue ngejagain aki di rumah sakit, di malam hari gue menyempatkan untuk solat malam, memohon kesembuhan, merapalkan doa-doa yang gue tau, fokus untuk kesembuhan sosok tercinta, agar bisa pulang ke rumah. Gue melihat orang-orang lain di sana juga memanjatkan doa serupa, menengadahkan kepala dan tangan, berusaha meminta ke Yang Maha Tinggi. Bersungguh-sungguh dan khusyu, tak jarang air mata berderai karena kesungguhan hati yang mendamba sehatnya orang terkasih.

Tanpa mendiskreditkan musola atau masjid di tempat lain. Di musola rumah sakitlah, menurut gue salah satu tempat di mana sang hamba dan Penciptanya bisa berkomunikasi, lebih dekat, lebih erat, lebih. Bukankah seharusnya memang begitu saat sedang berkomunikasi dengan Tuhan? Kualitas spiritual gue serasa meningkat jutaan kali lipat di sana.Gue tau di manapun kita bisa khusyu, tapi gue rasa kesedihan para penjaga di rumah sakit itu terasa somehow indah dan benar, mereka sama seperti gue, ingin anak, istri, suami, ayah, ibu, saudara, sahabat, serta kerabat mereka kembali sehat seperti sediakala. Sama seperti gue yang mendoakan kesembuhan untuk aki, begitu juga saat kakek gue sakit, di masjid rumah sakit gue mendoakan hal yang sama. I got the point now. Gue hanya ingat kepada-Nya saat sedang sedih dan memerlukan sesuatu, di mana gue saat sedang jaya? Pretty ironic.

Untuk Aki Wawan yang wafat agustus silam dan Kakek Mamet yang meninggal januari lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Twenty sixteen.

(7/366) Hari ketujuh di tahun baru ini belum terasa perbedaannya. Mataharinya masih sama, langitnya masih sama, nyokap dan ade-ade gue juga, alhamdulillah masih sama. Yang bedain cuma diskon di e-commerce yang gue subscribe di e-mail aja. Pasti banyak yang mikir: “Gila, cepet amat ya waktu berlalu.” Okelah kalau nggak banyak, mungkin gue doang yang mikir begitu. Mungkin inilah bukti teori relativitasnya Einstein ya, waktu itu emang relatif   dan subjektif banget (P.s. gue ngga tau ini nyambung ama teorinya atau nggak). Waktu lagi kena macet di lampu merah kita ngeliat durasi waktunya 120 detik aja rasanya lama banget (Lampu merah simpang Dago, you’re awesome ), tapi pas udah tahun baruan kita baru ngerasa kalau waktu itu berjalan dengan cepat. Karena itulah sepanjang tahun 2015 gue ngerasa ungkapan “Seize the moment” itu tepat banget, kita harus bener-bener menikmati apapun yang kita jalani, karena ya emang itu momennya. Buat gue pribadi masa depan itu cuma ada dalam piki

Surah Al Insyirah dan Utopia

Tinggi, tinggi, tinggi. Hirau, hirau, hirau, hirau, abai. Sesaat kamu pernah merasa di atas ombak banyu dari pasar malam keliling yang sedang mampir di daerah rumahmu. Kamu duduk berpegangan, saat wahana berputar kau tertawa, kencang, sekencang peganganmu agar tidak jatuh.      Gambar bersumber dari sini , terima kasih. Kamu takut sekali jatuh, tapi sisi dirimu yang lain meyakinkamu bahwa petualangan ini patut dicoba, dahaga akan adrenalinmu membalut semua kekhawatiran. Kamu berteriak sekencang-kencangnya, kamu tidak perlu takut atau malu, karena semua orang juga begitu. Argumentum ad Populum kah itu? Saat semua orang melakukannya juga berarti itulah kebenaran (mungkin analoginya kurang tepat, tapi You got the point .) Kala pandemi ini membuatmu seperti berjalan di jembatan dengan pondasi hanya seutas tali, kamu mau sampai di seberang, tapi kamu takut jatuh, tapi kamu takut untuk tetap diam di sini, kamu takut untuk menyeberang, kamu takut jatuh, kamu takut kepastian yang kamu cari be