Langsung ke konten utama

Twenty sixteen.



(7/366)
Hari ketujuh di tahun baru ini belum terasa perbedaannya. Mataharinya masih sama, langitnya masih sama, nyokap dan ade-ade gue juga, alhamdulillah masih sama. Yang bedain cuma diskon di e-commerce yang gue subscribe di e-mail aja.
Pasti banyak yang mikir: “Gila, cepet amat ya waktu berlalu.” Okelah kalau nggak banyak, mungkin gue doang yang mikir begitu. Mungkin inilah bukti teori relativitasnya Einstein ya, waktu itu emang relatif  dan subjektif banget (P.s. gue ngga tau ini nyambung ama teorinya atau nggak). Waktu lagi kena macet di lampu merah kita ngeliat durasi waktunya 120 detik aja rasanya lama banget (Lampu merah simpang Dago, you’re awesome), tapi pas udah tahun baruan kita baru ngerasa kalau waktu itu berjalan dengan cepat. Karena itulah sepanjang tahun 2015 gue ngerasa ungkapan “Seize the moment” itu tepat banget, kita harus bener-bener menikmati apapun yang kita jalani, karena ya emang itu momennya. Buat gue pribadi masa depan itu cuma ada dalam pikiran kita aja, karena kita manusia berjalan linear dengan waktu, semua masa depan itu adalah masa kini, kesempatan buat berubah ya saat ini, bukan nanti.
(1-355/355)
Untuk 2015
               Gue merasa 2015 adalah tahun yang super luar biasa, tahun pengujian dan kebahagiaan. Gue kehilangan tiga anggota keluarga gue dalam waktu yang relatif berdekatan, apalagi aki yang selama ini jadi sosok pelindung buat gue, beliau meninggal di saat gue lagi menungguinya di rumah sakit, saat gue cuma berdua sama beliau. Harus gue akuin saat itulah gue menangis paling kencang sepanjang tahun itu. Gue mendapat nasihat untuk lebih mengontrol dan mengelola emosi gue, alias jangan nangis, khususnya saat kehilangan orang yang disayangi, tapi gue merasa menangis adalah bentuk ekspresi yang penting, setelah tangisan itu berhenti akan muncul penerimaan dan dari penerimaan itu gue bisa memahami bahwa aki udah pergi. Di tahun itu gue benar-benar diajari untuk ikhlas, belajar melepas.
               Di tahun 2015 pula gue mendapatkan gelar sarjana gue, setelah proses skripsi yang begitu panjang. Senang rasanya ngeliat binar haru di mata nyokap saat gue udah selesai diwisuda. Gue belajar bahwa keluarga itu cuma bangga, tapi manfaat pendidikan itu cuma gue yang rasain, karena guelah yang ngejalaninnya, keluarga hanya ngedukung. Sekarang kembali pada gue, mau gue pakai apa itu gelar, semoga bukan sekadar perpanjangan nama. Gue ucapkan terima kasih untuk segala pihak yang udah berperan dalam studi gue, kita emang ngga bisa hidup sendirian.
               Secara kepribadian gue ngerasa banyak perkembangan. Gue belajar menjadi orang yang berpikiran terbuka, gue banyak mencoba hal baru baik salah maupun benar, karena sejatinya hidup itu proses belajar. So 2015, I see you've given me much more, thank you for those greatest gifts, God. Have a good new year ahead, folks!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musola Rumah Sakit

Tanpa mencari bagaimana cara menulis “musola” yang sesuai EYD. Pada hakikatnya manusia itu berjuang, berjuang mendapatkan nilai yang baik secara akademis, berusaha mendapat perhatian dari lawan jenis yang disukainya, berusaha menghidupi anak-anaknya, berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik senyum atau bahkan sekadar berjuang membuang kotoran dalam perut di kamar mandi. Saat ini gue sedang berjuang, lagi, iya setelah kenikmatan yang telah habis direguk seusai menyelesaikan studi, gue berjuang mencari kerja. Cukuplah dengan ucapan basi: Jadi wirausahawan aja, bisa jadi bos. Sama kaya soal makanan favorit, kita ngga bisa memaksakan makanan yang menurut kita enak ke semua orang, everybody has their own taste . Jadi pikirin aja diri lo sendiri ya. Tapi enterpreneurship adalah bidang yang menjadi pilihan kesekian gue, tapi juga pasti akan gue jalani nanti. Gue sedang berminat mendaki tangga di korporasi yang bernama “karir”. Gue emang selektif, karena gue lebih memili

Surah Al Insyirah dan Utopia

Tinggi, tinggi, tinggi. Hirau, hirau, hirau, hirau, abai. Sesaat kamu pernah merasa di atas ombak banyu dari pasar malam keliling yang sedang mampir di daerah rumahmu. Kamu duduk berpegangan, saat wahana berputar kau tertawa, kencang, sekencang peganganmu agar tidak jatuh.      Gambar bersumber dari sini , terima kasih. Kamu takut sekali jatuh, tapi sisi dirimu yang lain meyakinkamu bahwa petualangan ini patut dicoba, dahaga akan adrenalinmu membalut semua kekhawatiran. Kamu berteriak sekencang-kencangnya, kamu tidak perlu takut atau malu, karena semua orang juga begitu. Argumentum ad Populum kah itu? Saat semua orang melakukannya juga berarti itulah kebenaran (mungkin analoginya kurang tepat, tapi You got the point .) Kala pandemi ini membuatmu seperti berjalan di jembatan dengan pondasi hanya seutas tali, kamu mau sampai di seberang, tapi kamu takut jatuh, tapi kamu takut untuk tetap diam di sini, kamu takut untuk menyeberang, kamu takut jatuh, kamu takut kepastian yang kamu cari be